Ketika kita memutuskan akan berinteraksi sosial di blantika maya, menurut hemat saya, hanya dibutuhkan satu syarat utama, yakni mental baja. Lantaran, di dalam pergaulan baik di dunia maya maupun nyata, tetap berlaku adagium yang telah sedikit dimodifikasi ini, “Barang siapa yang kuat secara mental maka dialah yang akan bertahan.” Bila mental kita saja sudah ‘melempen’, bersiap-siaplah menuai kekecewaan kala berjejaring sosial dimaksud.
Manakala mental prima telah kita persiapkan, sebagaimana lazimnya dalam pergaulan nyata, di ranah maya pun ada orang yang suka dan tidak suka dengan diri kita. Dan orang yang tidak suka bisa kita klasifikasi lagi dalam dua tipe: mereka yang mengungkapkan dan mereka yang diam (namun siap-siap memuntahkan pelor ke jantung Anda).
Salah satu kelemahan penulis di manapun berada adalah mau menang sendiri. Menganggap bahwa pendapat dirinya paling benar. Hal tersebut tercermin dari tulisan yang ia publikasi, atau pada komentar-komentar yang ia torehkan (di tulisan sendiri maupun tulisan orang lain). Tak terkecuali di Kompasiana ini.
Oleh karena itu, tatkala kita terjun dalam kolam tulis menulis amat dibutuhkan modal kesantunan. Di mana terejawantah dalam tulisan atau komentar yang menghargai para pembacanya dan pula mau mengakui kesalahan. Orang-orang yang tidak suka dengan kita sebagaimana telah saya katakan di atas, awalnya menyerang kita karena ulah diri kita sendiri. Sebagaimana pepatah tak ada asap jika tidak ada api, maka saat kita menyalakan perapian tulisan, buatlah agar tungku perapian tersebut menyala yang menerangi gelap dan menghangatkan suasana sekitar.
Dalam menulis di suatu tulisan atau komentar, kita kadang terlalu berapi-api lepas kontrol. Bukannya menerangi eh mencerahkan atau menghangatkan suasana, namun yang terjadi menjilat-jilat orang sekitarnya yang berakibat permusuhan dan salah paham. Saya tegaskan kembali, apabila kita bisa mengedepankan kesantunan, yakinlah akan selamat di dunia maya maupun dunia nyata….
Lantas bagaimana jika kita sudah merasa santun dalam berperilaku di jagat tulis menulis, masih ada orang jahil yang mengatai-ngatai diri kita? Segalanya berpulang pada mental baja yang telah kita siapkan. Akan tetapi nyali hebat saja belum cukup. Pula kesantunan saja juga tidak cukup. Oleh karenanya dibutuhkan sense of humor (cita rasa jenaka).
Jika kita tidak memiliki cita rasa jenaka dalam buana tulis menulis, bawaannya akan serius. Alih-alih kita punya cita rasa jenaka, saat orang lain yang tidak suka dengan diri kita menyerang dari delapan penjuru angin, tidak begitu terpengaruh. Soalnya ia akan menjawab dan komentar balik dengan ungkapan bahasa jenaka yang membuat si lawan malah kehabisan peluru.
Orang yang punya selera humor, jika di-bully tidak melakjukan ofensif, juga tidak defensif. Pokoknya merasa biasa-biasa saja seolah-olah tidak ada apa-apa. Dalam kondisi ini, justru pembaca-pembaca lain akan bersimpati pada diri kita.
Tipe penulis yang memiliki mental baja, niscaya berpegang bahwa setiap masalah pasti ada jawabannya. Ia juga akan berpedoman, “Jika memang mudah mengapa harus dipersulit? Sementara itu, kala ia dihujani hujatan, cacian, makian dan kata-kata dari ‘kebun binatang’, maka hanya terpaku tak perlu banyak komentar. Melirik saja kepada sang pem-bully seraya bergumam, “Kejarlah daku kau kubiarkan….”
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar