"Kejadian saat ini memang merupakan dampak dari kebijakan pemerintah yang salah dari perhitungan suplai dan permintaan. Ketika pemerintah menurunkan kuota impor di 2011 itu masih 100 ribu ton, 2012 menjadi 34 ribu ton, itulah yang menjadi prahara terjadinya gejolak. Ini sangat kaget sekali kenapa pemerintah berani menurunkan kuota impor secara drastis begitu," kata Ketua Komite Daging Sapi Jakarta Raya Sarman Simanjorang saat ditemui di Gedung BEI, Jakarta, Rabu (6/2/2013).
Dia mengatakan, angka impor daging sapi tahun ini yang ditargetkan pemerintah sebesar 80 ribu ton dinilai tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang cukup besar.
"Jangan salah, 80 ribu ton itu dibagi dua. Sebanyak 60% dalam bentuk sapi hidup, sisanya 32 ribu ton daging sapi beku. Jadi 32 ribu ton itu dibagi 2 semester, semester satu 60% atau 19.200 ton. Semester dua sekitar 12.100 ton. Harusnya semester dua lebih banyak karena ada hari-hari besar agama. Ditambah 80% kuota impor diserap di Jakarta karena konsumsinya sangat tinggi," terangnya.
Apalagi, kata dia, pemerintah sudah menyatakan konsumsi daging per kapita masyarakat Indonesia tahun ini naik menjadi 2,2 kg per kapita per tahun, dibanding tahun lalu yang hanya 1,9 kg per kapita per tahun.
"Bedanya 3 ons dikali 430 juta jiwa. Ini kebutuhan semakin tinggi," kata Sarman.
Namun, kata dia, pemerintah mengaku berdasarkan hasil sensus terdapat 14,8 juta ekor sapi dan 4,7 juta ekor sapi di Jawa Timur yang siap potong.
"Itu hasil sensusnya. Jatim itu lumbung sapi nasional. Pertanyaannya, apakah sapi-sapi itu layak dijadikan stok? Itu punya masyarakat bukan pemerintah. Masyarakat menjadikan sapi sebagai tabungan bukan industri. Sapi itu tidak akan dijual, sedangkan dunia usaha tidak bisa menunggu itu. Jadi ngga bisa dijadikan stok," kata dia.
(dnl/dnl)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar